Padang Bebatuan

Rintik air hujan membasahi tumpukan bebatuan. Lembab.

Seorang pemukul batu datang membawa palu palu besar

Dipukul pukul batu itu hingga pecah. Dipikul pikul menuju turunan tajam tanah licin karena hujan.

Kaki yang telanjang mulai gusar, tak bersandal, tak bersepatu

Riuh riuh air menerjang deretan batu, lalu berlari turun.

Hingga pikulan batu berceceran, kaki yang telanjang menggores batu tajam.

Deras air turun, gelegar petir bersautan. Mendung pekat. Aku hanya duduk digubuk menanti datang sang penyelamat.

Andai saja tak kupecahkan masalah, maka tak akan melukaiku.

Andai saja tak kubawa berlari, pasti tak menggores kakiku.

Jika ku mampu pasti kuselamat

Jika tak mampu, maka ku akan menanti datangnya pagi

Pagi, hingga esok lagi

Kering

Kering bagai batu

Kering bagai angin

Kering bagai otak yang saling beradu

Kering bagai awak dan kapal yang lama berlayar

Tak pernah berlabuh

Tak pernah bersandar

Bagai ampang, bagai hambar

Lalu terpejamlah sorot matahari

Sadar menua bukanlah pilihan tapi itu jalan

Terangguk – angguk berkata iya

Tapi porak poranda dalam melangkah

Kering sudah tapal kaki yang kuambah

Kering sudah laluan yang berlalu lalang

Angin berlalu

Kering tak juga hujan

Saat hujan tak mengering barulah sadar

Tak lagi kau kepalkan kuat kuat tanganmu

Kau hanya menunduk dan menggambar cerita lalu

Sesal dan sebal jadi satu

Rambutmu memutih dan mengering

Tak lagi ada tawaku, tak lagi ada kasihku

Kering sudah air mata menunggu kepulanganmu